Rabu, 10 September 2014

Ngebolang Bak Anak Hilang di Kota Padang *part1* (Museum Adityawarman, Pantai Padang)

Sebuah kesempatan kedua bisa menapakkan kaki di Kota Padang (Sumatera Barat), tema perjalanan kali ini Ngebolang Bak Anak Hilang di Kota Padang. Perjalanan tanpa rencana, pergi kemanapun kaki melangkah menuju objek wisata di sekitaran Kota Padang. Tujuan pertama gue yaitu Museum Adhityawarman yang berada di jantung Kota Padang yang lokasinya sangat mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum. 


Monumen Korban Gempa Padang (30 September 2009)


Patung Bagindo Aziz Chan di Dalam Komplek Museum Adhityawarman
"Tidak Akan Kutinggalkan Rakyat Padang"

Bagindo Azizchan (lahir di Padang, 30 September 1910 – meninggal di Padang, 19 Juli 1947 pada umur 36 tahun) merupakan Wali Kota Padang kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Jaar. Ia meninggal dalam usia 36 tahun setelah terlibat dalam sebuah pertempuran melawan Belanda. Jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bahagia, Bukittinggi. Gelar Pahlawan Nasional Indonesia telah disematkan kepadanya pada 9 November 2005.


Monumen Bagindo Aziz Chan Tepat Berada di Depan Bangunan Museum Adhityawarman

9 Maret 1950
P-erdjuangan Padang dan sekitarnja.
A-chirnja Pinang pulang ke tampuknja.
D-irajakan dengan perasaan gembira.
A-kan djadi peringatan bangsa.
N-egara Indonesia, idaman sutji.
G-enggam teguh, tetap abadi.


Bangunan Museum Adhityawarman (Tampak Depan)


Maket Miniatur Komplek Museum Adhityawarman

Museum Adityawarman adalah museum yang terletak di kota Padang, Sumatera Barat, tepatnya di Jalan Diponegoro No. 10, Padang. Museum ini dibangun pada 1974 dan kemudian diresmikan pada 16 Maret 1977. Pengambilan nama museum ini sendiri adalah dari nama salah seorang raja yang pernah berkuasa di Malayapura, Minangkabau yaitu Adityawarman yang pernah menjadi pemimpin di Istana Pagaruyung di abad ke-14, tepatnya tahun 1347-1375 yang juga sezaman dengan Kerajaan Majapahit pada masa Patih Gadjah Mada. Museum ini juga disebut dengan Taman Mini ala Sumatera Barat.


Pembangunan museum ini berada di areal lebih kurang 2,6 hektar dengan luas bangunan sekitar 2.854,8 meter dan diresmikan oleh Prof. Dr. Syarif Thayeb (pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia). Selanjutnya museum ini diberi nama Museum Negeri Adityawarman Sumatera Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri No.093/0/1979 tanggal 28 Mei 1979.


Sebagai museum budaya, Museum Adityawarman berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah, seperti cagar budaya Minangkabau dan sekitarnya, serta cagar budaya nasional. Salah satu di antaranya adalah bangunan yang berarsitektur Minang, bernama Rumah Bagonjong atau Baanjuang, yang tampak cantik juga sangat khas.


Garis Keturunan Ibu "Matrilineal"

Koleksi utama yang terdapat di Museum Adityawarman dikelompokkan ke dalam sepuluh macam jenis koleksi, yaitu: Geologika/Geografika, Biologika, Etnografika, Arkeologika, Historika, Numismatika /Heraldika, Filolo­gika, Keramologika, Seni Rupa dan Teknalogika. Koleksi lain yang dimiliki oleh museum ini adalah benda purbakala peninggalan Kerajaan Dharmasraya, yaitu berupa duplikat patung Bhairawa dan patung Amoghapasa.


Koleksi di Museum Adhityawarman

Di sini, pengunjung dapat membaca serta belajar tentang sistem adat yang dimiliki oleh orang Minang karena di museum ini dijelaskan dengan terstruktur bagaimana hubungan kekerabatan dalam adat Minangkabau. Berbeda dari daerah-daerah lainnya di Indonesia yang pada umumnya memegang sistem kekerabatan patrilineal, Minangkabau sendiri menggunakan sistem matrilineal. Sehingga, bisa dikatakan bahwa peran wanita di Minangkabau lebih tinggi dibandingkan dengan pria.


Suasana Ruangan di Dalam Museum Adhityawarman

Aktivitas perempuan Minang dipaparkan dengan apik di area museum. Mulai dari mengasuh anak, memasak untuk keluarga dan lingkungan lebih luas, sampai tradisi lisan yang berupa pantun sebagai sarana ibu menanamkan nilai kehidupan bagi anak.  Kesenian banyak ditampilkan dalam upacara-upacara adat, salah satunya adalah upacara pernikahan. Di salah satu sudut museum terdapat ruang peragaan pelaminan pernikahan adat Minang. Tentu saja ruangan ini menjadi salah satu yang paling diminati oleh pengunjung.


Koleksi Museum Adhityawarman


Selain itu, di bagian ruangan lain terdapat koleksi-koleksi benda bersejarah dan budaya dari Suku Mentawai. Meskipun masih sama-sama dalam satu daerah, yakni Sumatera Barat, namun kenyataanya Suku Mentawai menerapkan adat istiadat yang sangat berbeda dengan Suku Minangkabau. Suku yang berada di pulau yang terpisah dengan daratan Sumatera itu menerapkan sistem kekerabatan patrilineal.

Setelah cukup menikmati berbagai koleksi museum yang sangat lengkap dan menarik, Anda bisa bersantai-santai sejenak di halaman museum yang cukup luas dan rimbun dengan banyaknya pepohonan. Ditambah lagi, di halaman museum disediakan tempat duduk yang cukup banyak, sehingga para pengunjun semakin nyaman untuk mengunjungi Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat ini.


Suasana di Luar Museum Adhityawarman

Setelah puas berkeliling di Museum Adhityawarman, gue jalan kaki menuju Pantai Padang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi museum. Kalo menurut gue, kondisi Pantai Padang saat itu sangat kotor, banyak sampah dimana-mana, pantainya kayak kurang terawat dan air lautnya keruh dan yang paling gue ga suka yaitu trotoar yang harusnya dipake buat pejalan kaki malah dipake buat jualan, dibangun lapak2 jualan makanan yg semi permanen bahkan ada yang permanen.

Garis pantainya sih panjang banget, jadi kalo mau nyusur pantainya, ya siapin fisik aja ditambah kondisi pantai yg semacem itu, ga ada yg bisa dinikmati, cenderung membosankan. Akhirnya gue memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke entah mau kemana kaki melangkah,hehe...


Pantai Padang

Setelah meninggalkan Pantai Padang, gue jalan kaki menuju ke Pasar Raya Padang, kemudian berlanjut ke Alun-Alun Kota Padang. Nhah pas di Alun2 ini, gue ngeliat bus yang hampir2 mirip semacem Trans Jakarta, cuma ukurannya agak kecil, dominan warna biru, pas diliat2 ternyata namanya Bus Trans Padang. Untuk sementara baru beroperasi 1 koridor yaitu dengan rute Lubuk Buaya - Pasar Raya Padang dan untuk 3 koridor lain belum beroperasi.

Karna penasaran, gue naik dari halte bus yang ada di sekitar alun2, tarif Trans Padang Rp 1500 untuk pelajar dan Rp 3000 untuk umum. Singkat cerita naiklah gue di Trans Padang dengan tujuan Lubuk Buaya, dan begitu sampai halte terakhir di Lubuk Buaya, gue liat2 sekitar halte, ga ada yg bisa didatengin. Gue memilih untuk stay di dalem bus sembari ngadem aja daripada ga jelas di luar yang saat itu cuaca lagi panas2nya.

Selang beberapa menit, bus jalan balik ke arah Pasar Raya Padang, dengan kondisi yang masih lengang kosong, lama kelamaan penumpang baik satu per satu. Nhah dari sini gue baru tau kalo sistem yang dipake Trans Padang (TP) beda dengan sistem Trans Jakarta (TJ), kalo TJ asal ga keluar koridor, ga bayar tiket lagi tuh, tapi kalo TP enggak gitu, pas gue jalan arah balik ke Pasar Raya Padang, gue ditarikan tiket lagi, Ahahahaaaaa. . . Jadi bayar 2x dah gue :| *TepokJidat*


Trans Padang


Kondisi Di Dalam Bus Trans Padang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar